Kontrakan Seram

Aku keluar dari kamar mandi, tiba – tiba terdengar suara langkah sesuatu di langit – langit rumah kontrakan yang kutinggali. Aku terdiam, ku pasang telinga dengan seksama. Ini bukan tikus, langkahnya terlalu berwibawa untuk seekor tikus.

“Pasti kucing, ya pasti kucing”, pikirku.

“Langkah itu langkah binatang berkaki empat”. Entah kenapa di pikiranku terbayang seekor kucing liar di pinggir jalan dengan perut cekung melangkah lemah. Mirip langkah di langit – langit ini.

Aku masih memasang telingaku ketika langkah itu sampai di langit – langit kamar kosong di sebelah ruang tengah dan kamar mandi, sekedar untuk memastikan. Tapi…tiba – tiba terdengar suara “sreettt”. Pemilik langkah itu menyeret sesuatu.

“Masak kucing menyeret sesuatu?” pikirku penasaran dan mulai timbul rasa takut. Adegan dalam film horor terlintas di pikiranku.

“Sreettt…” suara seretan itu terdengar lagi. Dan rasa takut semakin tebal.

Kalau ada tangga, aku bisa meliat apa sebenarnya yang ada di langit – langit itu melalui salah satu eternit yang jebol sejak sebelum aku tinggal di rumah ini. Tapi untung saja tidak ada tangga. Menemukan alasan untuk tidak melawan rasa takut selalu melegakan.

Aku berangkat ke kantor dan pikiran itu tak lagi mengganggu. Dua hari kemudian, ketika aku membersihkan halaman rumah dari rumput dan tanaman merambat yang tumbuh liar, aku melihat seekor induk kucing dan 3 ekor anaknya yang tampaknya masih baru saja bisa berjalan. Mereka bersantai di bawah pot besar. Seekor anak kucing menatapku. Induknya mengalungkan salah satu kakinya di badan anak kucing itu untuk mencegahnya mengikuti rasa ingin tahunya. Aku lambaikan tangan ke mereka kemudian melanjutkan pekerjaanku.

Kucing;Manusia

Kucing itu betina. Kucing itu belum terlalu tua. Kucing itu perutnya cekung. Kucing itu kantung susunya menebal. Kucing itu … mungkin baru pertama kali melahirkan.

Manusia itu melihatnya di atas meja ketika ia baru saja berhasil meloloskan sepotong ikan dari sebuah piring bertudung saji. Manusia itu mengganggu ritualnya, dan memaksanya melupakan perutnya yang cekung, kantung susunya yang menebal dan anak-anaknya yang mungkin dari kelahiran kali pertamanya.

Kucing itu sadar. Sadar apa yang harus ia lakukan jika ia menjadi manusia yang melihat kucing yang perutnya cekung, yang kantung susunya menebal, yang hanya bisa menebak sudah berapa kali kucing itu melahirkan; sedang di atas meja baru saja berhasil meloloskan sepotong ikan dari piring bertudung saji.

Manusia itu sadar. Sadar apa yang harus ia lakukan jika ia menjadi kucing yang perutnya cekung, yang kantung susunya menebal dan yang baru melahirkan -mungkin untuk kali pertama.

Manusia itu memandang kucing. Mulutnya yang terbungkam tak menghalanginya untuk mengesankan pesan, “Maaf, aku tetap tidak bisa memberikan sepotong ikan ini.” Kucing tidak tahu itu, tapi ia tetap tidak menyalahkan manusia. Kucing dan manusia tahu perannya, dan peran makhluk lain di alam semesta.

Postingan Terpaksa

Ketika akal dipertarungkan dengan perasaan.
Akal berkekuatan ego, hati berkekuatan cinta.
Akal bersenjatakan pengetahuan, hati bersenjatakan kejujuran.
Akal bersikeras memperjuangkan idealitas, hati berjuang agar angan menjadi realitas.
Akal tak mampu terfokus karena bisikan hati yang tak kunjung henti, hati terpenjara oleh akal yang menguasai penuh gerak tubuh dan ucapan lisan.
Akal leluasa menyampaikan gagasannya ke luasnya alam, hati hanya mampu menuliskan kata-katanya pada polosnya raut wajah dan jujurnya sorot mata. (Namun siapa yang mampu mengejanya?)